ORANG TUA SEBAGAI CONTOH LITERASI YANG BAIK BAGI ANAK
Kata “literasi” bukanlah kata yang tabu
dalam dunia islam, sejak zaman Rasulullah S.A.W. Allah sudah memerintahkan Nabi
Muhammad S.A.W. Untuk membaca, terbukti dalam wahyu pertama yang diturunkan
kepada nabi Muhammad S.A.W. Dimana diserukan “membaca” (iqra’). Begitu
pentingnya “menbaca" seperti kalimat pertama dalam surat Al-‘alaq, dan
perintah “membaca” tersebut membuktikan bahwa pentingnya pendidikan dan
menuntut ilmu didalam ajaran Islam.
Pendidikan
seorang anak dimulai dari keluarganya. Sejak seorang anak dalam kandungan
selama 9 bulan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Di dalam kandungan, anak sudah dapat merasakan apapun yang dirasakan olek orang tuanya, baik itu
perasaan orang tuanya atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang tuanya. Menurut
James Allan Rarung (2014) “Bahwa sesungguhnya seorang bayi di dalam kandungan
yang berusia 3 bulan sudah mulai mempunyai perasaan, baik itu perasaan sedih,
senang atau takut. Saat berumur 4 bulan dalam kandungan, dia sudah mulai
belajar mendengar sesuata dari luar dan dapat membedakan suara orangtuanya
dengan suara orang lain dan suara dari luar, juga akan merangsang organ
indera dan meransang pertumbuhan intelegensia bayi. Sekitar umur kehamilan 5-6
bulan, bayi dalam kandungan dapat merasakan stimulus yang sudah berkembang
dengan baik sehingga proses pendidikan dan belajar dapat dilakukan oleh bayi
dalam kandungan”.
Gambaran
perkembangan kecerdasan seorang anak yang digambarkan oleh James Allan Rarung,
menunjukkan bahwa sejak dari dalam kandungan seorang anak sudah mulai
belajar, sudah mulai membaca dan memahami sekitarnya melalui orang tuanya.
Setelah
seorang anak dilahirkan ke bumi, mulailah tahapan belajar selanjutnya dimana
pengaruh orang tua dan lingkungan sangat mengambil peran terhadap perkembangan
fisik dan spikologis anak. Anak mengamati, meniru, membaca dan mengikiti setiap
yang mereka lihat, kadang mereka tidak sadar apa yang mereka tiru dan ikuti itu
adalah buruk atau salah menurut agama dan norma, disinilah peran orang tua
paling diutamakan.
Anak
yang baru lahir bagaikan kertas putih tanpa coretan, dan peran orang tua
bagaikan pemegang pena yang akan mencoret kertas putih tersebut. Nah,
bagaimanakah orang tua tersebut mencoretnya? Apakah tulisan yang ditorehkan
adalah tulisan yang baik? Atau tulisan yang buruk? Itu tergantung pada
kebiasaan dan cara hidup orang tua yang telah melahirkan anak tersebut. Dan bagi
lingkungannya anak bagaikan sebuah flashdisk
yang kosong yang akan siap menerima copian-copian file dalam bentuk apapun,
hanya keluarga dan orang tuanyalah yang bisa mengedit kembali file-file yang
tidak cocok atau tidak pantas untuk flashdisk anaknya.
Sejak
masih bayi anak terus belajar dan meniru dari kebiasaan dalam keluarga dan
lingkungannya, dan hal ini sama seperti membaca dan langsung mempraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari anak tersebut. Sampai umur remajapun anak terus
berliterasi, dan ruang lingkup literasinya semakin luas, peran orang tua
semakin berat dalam menyaring dan menyeleksi hasil literasi anaknya di luar
rumah. Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh orang tua dari hal sekecil
apapun akan menjadi bahan literasi untuk anak. Mari menjadi ayah dan ibu yang
bijak, bersikap dan berbuat sesuai dengan kaedah agama dan norma dalam
masyarakat. Sehingga anakpun tidak salah dalam meng-literasi kedua orang
tuanya.
Daftar
Pustaka
Rarung,
James A. 2014, Mengelola Otak dan Emosi
Bayi Didalam Kandungan.(online). Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan,
Mangister Manajemen Sumber Daya Manusia. www.Kompasiana.com.
(diakses 16 Mei 2019)
Comments
Post a Comment